Kota Baubau

Saya suka sekali bercerita tentang sebuah Kota yang berada di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Letaknya cukup jauh, kalau dari Jakarta harus transit di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar sebelum lanjut terbang ke Bandara Betoambari Baubau. Bisa juga naik kapal selama beberapa hari. Maka tidak heran jika menuju Kota Baubau, saya atau kamu harus merogoh kocek yang sangat dalam.

Lanjutkan membaca Kota Baubau

Menangis

Terakhir kali saya menangis adalah minggu lalu, saat saya lelah dengan kesibukan mengurus skripsi dan pekerjaan. Stress karena uang bulanan saya menipis dan uang tabungan saya mulai digunakan untuk menghidupi diri di tanah rantau. Sedih, karena di umur yang tidak lagi muda ini masih berharap kepada orangtua dan merasa kesuksesan itu datangnya lama sekali padahal saya sudah berusaha sebaik mungkin.

Sudah baik tapi belum maksimal. Makanya, saya disuruh untuk memaafkan diri ini oleh Mama. Diri ini sudah berusaha tapi segalanya belum sesuai dengan waktu, belum sekarang kata Mama menenangkan saya.

Hari ini, saya menangis lagi. Saya sedih melihat orang-orang di sekitar saya yang sesungguhnya lebih cerdas, lebih sukses tetapi mereka tidak mempergunakan kelebihan itu untuk mencari tahu suatu hal dengan baik. Berujung termakan framing media yang massive, tidak mengindahkan fakta terpercaya dari ahli yang tidak memiliki kepentingan apapun dalam kekuasaan. Saya sedih karena tidak bisa membujuk atau memberitahu mereka–karena lagi dan lagi, mereka tidak mengindahkan anjuran saya untuk menonton atau membaca fakta-fakta itu. Menutup telinga, menganggap omongan saya adalah angin lewat.

Memang. Siapa pula saya? Ahli saja dianggap menggiring opini.

Saya sudah tahu, ini akan terjadi sejak awal. Tapi saya ingin berusaha, makanya saya tidak lagi ingin apatis. Namun, kecewa tetaplah kecewa. Sedih sekali sampai saya menangisi pesta rakyat yang–apakah saya bisa sebut sebagai pintu gerbang matinya demokrasi Negari Wakanda ini?

Entahlah.

Saya selalu percaya, Tuhan itu Maha Baik. Allah selalu memberikan keadilan bagi setiap makhluk-Nya. Jika hari ini menjadi hari yang buruk, maka di depan sana ada hari yang indah.

Lagi-lagi, saya tidak tahu kapan. Yang saya tahu, manusia harus bersabar diiringi dengan usaha dan doa. Seperti yang saya coba lakukan setelah memaafkan diri saya kemarin.

Lawan

Kontras dengan suasana Bandung yang tenang, pagi ini hati saya bergejolak. Gejolak yang sebenarnya sudah muncul sejak beberapa hari ini setelah melihat perkembangan kampanye calon presiden dan calon wakil presiden Indonesia terutama di media sosial.

Gejolak itu besar sekali sampai saya merasa ingin marah terhadap frame media yang menguburkan kebenaran, memperkeruh pemikiran manusia yang ingin hal-hal sederhana dari kompleksnya pilihan kali ini yang harus dipilah dengan serius. Sayangnya, masyarakat Indonesia tidak suka mencari. Pun mencari, hanya ingin mencari yang disukai saja sejak awal tanpa membuka kemungkinan untuk pilihan lain.

Bukan bodoh. Orang terdekat saya pintar-pintar, tapi karena malas ingin mencari dan menutup telinga untuk mendengarkan fakta, mereka memilih buta dan membiarkan diri termakan framing yang hanya akan bertahan sampai proses pemilu ini usai.

Gerah sekali rasanya.

Sejak awal saya memang apatis, selalu memilih golput tapi kali ini berbeda. Saya tidak ingin membiarkan seseorang itu menang dan membungkam hak saya untuk berbicara, bahkan untuk membaca berbagai jenis bacaan dengan bebas. Saya ingin bebas sesuai dengan janji kemerdekaan yang sudah dikumandangkan sejak dahulu kala. Bukankah itu hak segala warga negara? Maka, jika ada yang ingin bungkam, hal yang harus dilakukan adalah; “Lawan!”